CREEPYPASTA STORY : SEASON 1
Hallo para seniman, mulai sekarang blog ane bakal mosting creepypasta. Creepypasta yang dipilih adalah cerita yang benar-benar mengerikan. Untuk season 1 mungkin creepypasta yang bakal diposting adalah creepypasta buatan orang lain. Tapi untuk season selanjutnya bakal ane usahain buat posting creepypasta karya sendiri. Jadi creepypasta nya itu bener-bener dikarang sendiri. Karena karya sendiri, jeda antara seasonnya pun cukup lama, mengingat mengarang itu butuh waktu dan ide. Oke, ini dia CREEPYPASTA STORY : SEASON 1
1. Keep the light off
Berhati-hatilah jika anda mau bermain cerita hantu! Urban Legend ini bercerita tentang seorang gadis yang mengundang tiga temannya menginap di rumah. Kemudian ia mengajak mereka bercerita hantu bergiliran tapi dengan lampu tetap menyala.
Beberapa saat kemudian, teman-temannya berhasil memaksa cewek ini untuk mematikan lampu. Si cewek ini jadi sangat ketakutan ketika cerita dilanjutkan sehingga ia langsung menjerit dan berlari ke arah tombol lampu di dinding, dan dalam perjalanan mencari, ia menabrak banyak barang yang seharusnya nggak ada di lantainya.
Dan ketika lampu menyala... ia melihat ketiga temannya tersenyum menatapnya, dengan mata bolong.
So, keep your light off!!
2. Protect the baby
Terjadi di New York, di mana seorang kasir toko beberapa kali memergoki seorang wanita berbaju abu-abu yang terlihat pucat mencuri susu dari toko tersebut. Namun ketika dikejar ke luar toko, selalu si wanita ini sudah menghilang.
Suatu ketika, si kasir sudah siap-siap mengejar wanita ini. Dia menunggu di luar dan langsung mengejar si wanita yang berjalan sangat cepat bagaikan melayang. Pengejaran menuntunnya sampai ke sebuah kuburan. Si wanita itu lenyap begitu melewati gerbang.
Ketika si kasir sedang kebingungan, ia mendengar tangis bayi dari dalam tanah. Dengan cepat, si kasir dan beberapa orang yang menolongnya menggali tanah tersebut, di mana mereka menemukan sebuah peti mati kayu.
Ketika dibuka, di dalamnya adalah mayat wanita berbaju abu-abu tersebut... memeluk seorang bayi kecil yang sedang menangis. Di sebelahnya ada beberapa botol susu yang kosong.
3. Sebuah Laporan Kematian Misterius
Kisah berikut ini diceritakan dari teman saya di Jepang, bahwa teman saya mengatakan ada sebuah laporan kematian yang cukup aneh yang terjadi pada minggu lalu, ia menemukan artikel ini ketika ia sedang membaca sebuah koran harian di Jepang.
Saat itu, ada sekelompok remaja yang terdiri dari 4 anak laki-laki dan 4 anak perempuan dalam satu sekolah perguruan tinggi yang sama. Suatu malam, mereka sedang mengadakan pesta kecil di rumah salah satu remaja tersebut, di tengah malam hari, mereka mengadakan sebuah permainan uji nyali yang menguji keberanian dan mental mereka dengan pergi ke lokasi yang berhantu.
Selama bertahun-tahun, mereka telah mendengar desas-desus cerita tentang sebuah gedung sekolah tua yang sudah lama ditinggalkan dan tergeletak di pinggiran kota. Semua penduduk sekitar mengatakan bahwa geduh sekolah tua itu telah di huni oleh para hantu.
Tak satu pun dari mereka percaya pada hantu, tetapi mereka hanya ingin bermain dengan tipuan lelucon kemudian menakut-nakuti antar sesama dan sepertinya sekolah tua yang ditinggalkan itu adalah tempat yang paling dekat dari lokasi rumah mereka.
Salah satu dari mereka mempunyai sebuah mobil, sehingga mereka langsung melaju ke gedung sekolah tua dan setelah sampai disana, mobil mereka langsung diparkir di luar lapangan. 8 remaja tersebut telah memutuskan, bahwa mereka akan mengeksplorasi gedung sekolah tua ini, kemudian mereka telah membuat sebuah kesepakatan kepada setiap pasangan untuk berjalan di sekitar sekolah searah jarum jam, ini akan memakan waktu sekitar 10-20 menit untuk mengelilingi sekolah ini.
Pasangan pertama akan memulai permainan ini kemudian ketika mereka kembali, mereka akan memberitahu kepada pasangan selanjutnya bahwa apakah yang mereka lihat di setiap ruangan sekolah dan ceritakan tanpa adanya unsur kebohongan. Kemudian peraturan itu akan menjadi pasangan selanjutnya untuk berjalan di sekitar sekolah, pasangan pertama, laki-laki dan perempuan yang akan memulainya dan langsung berjalan menuju sekolah, kemudian 6 remaja lainya menunggu di mobil.
Setelah beberapa saat kemudian, setelah pasangan pertama menuju ke sekolah itu, mereka mulai tidak sabar dan mulai penasaran apa yang telah mereka lihat disana, dan kemudian waktu sudah menunjukan lebih dari 20 menit, dan kedua pasangan itu masih belum kembali ke mobil.
Setelah 30 menit berlalu, remaja yang lain sudah merasa bosan untuk menunggu mereka tiba di mobil. Kemudian mereka memutuskan kepada pasangan nomor 2 untuk berjalan dan menuju ke sekolah itu sekaligus mencari teman- teman mereka yang terdahulu.
Setelah pasangan nomor 2 masuk ke dalam sekolah, kemudian yang lain akan menunggu giliran. Setelah 20 menit kemudian, pasangan nomor 2 itu pun sepertinya juga tidak kembali ke mobil, kemudian sisa remaja yang berada di mobil tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi pada mereka disana, saat itu pun mereka mulai saling bertanya-tanya apakah teman-teman mereka sedang bermain lelucon kepada mereka. Sudah hampir satu jam sejak pasangan nomor 1 dan nomor 2 tidak kembali ke mobil.
Kemudian dilanjutkan dengan pasangan nomer 3, pasangan ini sangat gugup dan sedikit merasa khawatir untuk berjalan ke sekolah itu, dibenak mereka adalah hanya ingin menemukan teman-teman mereka yang telah menghilang dan tidak kembali ke mobil. Salah satu remaja perempuan mulai merasa panik dan menangis, kemudian mereka mencoba untuk menghiburnya.
Pada akhirnya, mereka berkata dengan kompak "Kami bertiga akan mencari mereka, kamu disini saja dan selalu di dalam mobil. Namun jika kami bertiga juga tidak kembali ke mobil setelah 30 menit. Tolong hubungi polisi secepatnya."
Setelah mereka bertiga pergi, sisa satu remaja seorang perempuan di dalam mobil. Kemudian ia keluar dari mobil karena gugup dan berdiri sendirian di depan mobil melihat teman-temanya menuju ke sekolah yang dingin dan gelap, kemudian ia sempat berteriak dan berkata "Cepat kembali, aku menunggu kalian di sini!" namun suara perempuan itu tak sampai kepada ke 3 teman-temanya.
Di tengah dinginya malam perempuan itu mulai menangis. 10 menit, 20 menit, 30 menit bahkan sampai 1 jam dia tetap menunggu mereka untuk kembali ke mobil, tetapi mereka pun tidak ada yang kembali. Kemudian ia mulai masuk ke dalam mobil, memutar kunci kontak dan melaju ke kantor polisi terdekat untuk melapor diri.
Empat petugas polisi disertai perempuan itu langsung menuju ke gedung sekolah tua. Kemudian fajar pun tiba, mereka tetap mencari ke tujuh remaja yang menghilang. Pada awalnya, mereka tidak bisa menemukan tanda-tanda mereka di halaman sekolah tetapi kemudian mereka menemukan bahwa ada sesuatu di dalam ruangan olah raga, nampak pintu olah raga sedang terbuka, kemudian para polisi masuk ke dalam gedung itu, tetapi ruangan itu kosong.
Namun sempat ada keheningan yang menakutkan di udara. ketika mereka melihat ke atas langit-langit gedung olah raga, akhirnya mereka berhasil menemukan 7 remaja yang hilang tersebut.
"7 dari remaja tersebut di temukan dalam keadaan yang mengenaskan dan sudah tidak bernyawa, mereka semua tergantung dengan tali di langit-langit gedung olah raga dengan lidah menjulur dan kedua mata terbuka lebar!"
Polisi pun bertanya kepada remaja perempuan yang masih hidup dan remaja itu pun telah bersumpah bahwa dia telah mengatakan yang sebenarnya telah terjadi di sekolah tua itu dan ini bukan lelucon. 7 pasangan remaja itu telah masuk ke gedung sekolah tua untuk permainan uji nyali yang menguji keberanian mereka, kemudian mereka pun tidak punya alasan untuk melakukan Bunuh Diri Bersama.
Setelah berminggu-minggu para polisi mencoba untuk memecahkan misteri kasus kematian ini. Kemudian, polisi akhirnya menutup kasus ini, karena mereka tidak bisa menemukan bukti bahwa remaja telah dibunuh atau bunuh diri. Pada akhirnya, insiden itu dijelaskan sebagai kasus Histeria Massa. Polisi mengklaim bahwa tujuh remaja harus terlibat dalam semacam fakta bunuh diri.
Sampai saat ini, setelah kematian misterius itu terjadi, tidak seorang pun di kota itu yang berani untuk menjelajahi gedung sekolah tua yang ditinggalkan lama itu.
Catatan : Histeria massa adalah sebuah pandangan irasional atau perilaku tidak wajar yang menyebar luas kepada sejumlah orang yang sebenarnya bukanlah bentuk tindakan sosial tiada arti yang diarahkan kepada orang lain.
4. The Expressionless
The Expressionless atau dalam bahasa kita sehari-hari, bermakna Tidak Menampilkan Ekspresi Sama Sekali. Nama ini diberikan oleh seorang Dokter Perempuan yang bertemu langsung dengan The Expressionless. Berdasarkarkan data-data yang saya kumpulkan, ini lah Sejarah tentang The Expressionless.
(Berdasarkan Data Nyata)
Pada bulan Juni 1972, Seorang Perempuan muncul dirumah sakit "Cedar Senai". Perempuan itu memakai Gaun Putih. Gaun Putih itu menutupi darah yang ada di badan perempuan tersebut.
Tidak aneh jika perempuan itu muncul di rumah sakit, karena orang-orang sekitar memperhatikan ke anehan perempuan tersebut. Sampai-sampai orang yang memperhatikannya dapat Muntah, dan Merasa tidak enak badan.
Yang pertama dipertanyakan adalah, apakah ia benar-benar seorang manusia?
Tubuh dan Mukanya lebih mirip mendekati seperti Mannequin (Manekin > sebuah sosok tubuh atau patung menyerupai manusia, baik dari segi bentuk badan, kaki, tangan, kepala, bahkan wajahnya bisa diserupai dengan wajah manusia aslinya) tetapi memiliki ketangkasan dan fluiditas manusia normal. Wajahnya sebagai sempurna manekin, tanpa alis dan dioleskan make-up.
Ada anak kucing dijepit di rahangnya sehingga wajar ketat sehingga tidak ada gigi bisa dilihat, dan darah masih menyemprotkan di atas gaunnya dan ke lantai. Dokter kemudian menariknya keluar dari mulutnya, melemparnya ke samping.
Dari saat ia melangkah melalui pintu masuk ketika ia dibawa ke sebuah kamar rumah sakit dan dibersihkan sebelum disiapkan untuk sedasi, dia benar-benar tenang, tanpa ekspresi dan tak bergerak. Para dokter pikir lebih baik untuk menahan dia sampai pihak berwenang bisa tiba dan dia tidak protes. Mereka tidak mampu untuk mendapatkan jenis respon dari dia dan sebagian besar anggota staf merasa terlalu tidak nyaman untuk melihat langsung padanya selama lebih dari beberapa detik.
Tapi kedua staf mencoba untuk mengsedasi dia, tapi dia melawan balik dengan kekuatan ekstrem. Dua anggota staf harus terus memegangi tubuh dia ke bawah saat tubuhnya terbaring di tempat tidur. Masih sama, ekspresi kosong.
Dia berbalik menunjukkan mata emosi nya terhadap dokter laki-laki dan melakukan sesuatu yang tidak biasa. Dia tersenyum.
Saat dia melakukannya, dokter perempuan menjerit dan karena shock. Dalam mulut wanita, muncul gigi yang bukan gigi manusia, tetapi panjang, lonjakan tajam. Terlalu Panjang untuk mulutnya bisa menutup sepenuhnya tanpa menyebabkan kerusakan (Pada Mulutnya) ...
Dokter laki-laki membalas menatapnya sejenak sebelum bertanya "Mahluk apa kamu?"
Ada jeda panjang, keamanan telah disiagakan dan bisa didengar berjalan di lorong.
Saat ia mendengar mereka mendekatan, ia melesat ke depan, tenggelam giginya ke depan tenggorokannya, merobek keluar dan membiarkan Dokter laki-laki itu jatuh ke lantai, terengah-engah mengalami luka.
Dia berdiri dan bersandar di atasnya, wajah berbahayanya datang sebagai kehidupan memudar dari matanya.
Dia mendekat dan berbisik di telinganya.
"Saya... Adalah... Tuhan.."
Mata dokter dipenuhi dengan ketakutan saat ia melihat dengan tenang wanita itu berjalan kaki, menyapa keamanan.
Dokter perempuan yang selamat dari insiden tersebut memberi nama pada pasien wanita itu "The Expressionless"
5. Hungry
Creepypasta ini bercerita tentang seorang psikiater yang mendapatkan pasien dengan gangguan pola makan. Sang pasien ternyata terjebak di dalam lift di dalam perjalanannya menemui sang psikiater. Apa yang terjadi selanjutnya akan membuat kalian shock. Pribadi, kurasa ini cerita paling menakutkan di list ini.
Sebagai seorang dokter ahli jiwa, aku terikat dengan kerahasiaan antaraa dokter-pasien dan tidak diperkenankan memberitahukan pada siapapun mengenai kondisi pasien2ku. Namun kali ini, aku merasa perlu untuk menceritakannya. Cerita ini, tanpa perlu kuragukan lagi, adalah pengalaman paling menakutkan yang pernah kualami sepanjang praktekku sebagai psikiater.
Kisah ini terjadi tahun 2009 dan jadwalku saat itu sedang longgar. Aku sedang menghabiskan makan siangku kettika aku mendapat telepon dari kolegaku yang membuka praktek di gedung yang sama denganku. Kadang kala kami memang sering mengirimkan pasien satu sama lain apabila salah satu dari kami sedang sibuk.
“Hei, apa kau sedang sibuk? Aku ingin mengirim seseorang kepadamu.” katanya.
“Tidak kok. Bagaimana detail pasiennya?”
“Gangguan pola makan. Ibunya sangat khawatir sehingga mengirimnya kepadaku.”
Gangguan pola makan. Hmm ... itu kasus yang tidak terlalu menyenangkan. Sebenarnya aku pernah memiliki pasien penderita bullimia yang muntah di kantorku selama terapi. Aku melirik jadwalku sejenak. Yah, kurasa aku bisa menerimanya.
“Oke, kirim dia!”
“Thanks. Aku kirim dia sekarang.”
Aku mencoba merapikan mejaku dan menunggunya. Setelah 10 menit menanti, aku mulai tak sabar dan keluar untuk mencarinya. Ketika aku sampai di lorong, kulihat ada kerumunan orang berdiri di depan elevator. Mereka saling bercakap-cakap satu sama lain, seperti mendiskusikan sesuatu.
“Ada apa ini?” tanyaku.
“Lift-nya macet.” jawab salah satu dari mereka.
Sial, pasti dia terjebak di dalamnya.
“Di lantai berapa?”
“Di antara lantai 10 dan 11.”
Yup, pasti ia ada di dalamnya. Kantor rekanku itu berada di lantai 10, sekitar 3 lantai dari sini. Menurut pengalamanku, bisa sejam hingga operator bisa memperbaiki lift ini. Aku harap dia tidak klaustrofobia. Kembali ke kantorku, aku lalu menelepon rekanku.
“Bagaimana?’ jawab kolegaku di dalam telepon.
“Ia terjebak di dalam lift.”
“Benarkah? Gadis yang malang” ia tertawa.
“Siapa namanya?”
“Amelia,” ia mencoba mengingat, “Amelia D-sesuatu ...”
“Oke, thanks. Bagaimana jika kita minum sehabis pulang kerja, lalu kita bisa bertukar opini mengenai kasusnya.”
“Oke, dia itu ...”
“Eits, jangan katakan dulu. Aku ingin membentuk opiniku sendiri tanpa ada pengaruh darimu, oke?”
“Oke.”
Ternyata benar dugaanku, baru sejam kemudian, aku mendengar sorakan dari ujung lorong. Itu tanda lift itu akhirnya bekerja kembali.
Aku harus memastikan ia baik-baik saja. Kemudian aku kembali bergabung dengan kerumunan orang2 di depan lift.
Ada lebih banyak orang ketimbang tadi sehingga aku tak bisa melihat pintu lift dari balik punggung mereka. Namun aku mendengar suara berdenting yang menandakan lift itu berhenti di lantai kami dan suara bergeser ketika lift itu membuka.
“Holy shit!” seseorang langsung berteriak.
Orang-orang mulai menjauh dari depan lift. Aku mencoba maju mendesak tubuh orang2 di depanku karena ingin melihat apa yang ada di dalam lift. Begitu aku mendekat, aku mulai mencium bau ini. Baunya seperti membuka kamar apartemen dan seseorang yang belum mandi selama bertahun-tahun keluar. Bau itu mengalir keluar dari dalam lift dan membanjiri sepanjang lorong. Seorang pemuda berpakaian jas langsung menutup mulut dan hidungnya dengan sapu tangan. Akhirnya aku bisa melihat dengan jelas apa yang membuat reaksi orang2 seperti itu.
Wanita di dalam lift itu sama sekali tak seperti yang aku bayangkan. Ia mengalami obesitas yang sangat parah, ia terlihat berbobot sekitar 200 kg. Wajahnya benar2 tambun hingga matanya hampir2 tak terlihat, hanya tampak seperti dua titik hitam di atas pipinya. Ia memiliki rambut cokelat yang keriting.
Mulutnya tertutup oleh sesuatu yang tampak seperti saus barbekyu yang penuh minyak. Bahkan masih ada sisa tulang di sudut mulutnya. Ia menggerakkan tangan gemuknya untuk membersihkan serpihan di bajunya, sisa makanan. Ia terlihat seperti habis dari bufet all-you-can-eat dengan berbagai menu daging. Terpegang erat di salah satu tangannya adalah sebuah tas plastik hitam besar, seperti sebuah plastik sampah. Ketika ia menggerakkannya, apapun yang ia simpan di dalamnya tampak teraduk-aduk. Bau busuk itu rupanya tak keluar dari badan wanita itu, melainkan dari dalam plastik sampah itu.
Wanita itu berjalan keluar dari lift. Mata dan hidungnya penuh dengan air mata dan lendir yang terus mengalir. Aku justru maju ketika orang2 lain mundur karena ketakutan.
“Amelia?” aku bertanya kepadanya.
Ia menatapku dengan matanya yang kecil bak manik2. Pipinya belepotan dengan noda sampah merah yang bercampur dengan air mata. Ia mulai membuka mulutnya dan aku sempat berpikir bahwa ia akan memuntahkan seluruh barbekyu yang ia lahap ke arahku.
“A ... aku tadi lapar ...” ia berkata dengan aksen Selatan yang tergagap.
Pria berpakaian jas tadi bergidik karena bau napas wanita itu dan segera melangkah pergi.
“Tidak apa-apa,” aku mencoba meraihnya untuk menolongnya, “Apa kau ingin membicarakannya di kantorku?”
Melihatku mencoba meraihnya, ia mengenggam lebih erat tas plastik hitam besar dan memeluknya di depan dadanya. Isinya menimbulkan suara yang membuatku muak. Aku bisa merasakan makan siangku tadi naik ke belakang tenggorokanku.
“Apa itu milikmu?’ tanyaku, “Aku takkan mengambilnya.”
Ia mulai menangis. Suara cukup membuatku ngeri, seperti suara babi mengikik. Jujur, aku tak mau menyentuhnya. Aku ingin kembali ke kantor, mengunci pintuku, dan berpura2 tak pernah menerima pasien sepertinya. Bau dan tumpahan apapun yang ada di dalam tasnya bisa mengendap di dalam kantorku selama berminggu-minggu. Namun tetap saja, ia adalah manusia dan ia membutuhkan bantuanku. Aku tak bisa begitu saja memalingkan muka.
“Kantorku tak jauh dari sini. Mengapa kau tak ikut denganku ke sana?” aku mulai berjalan. Di benakku, jika saja ia tak mengikutiku, malah bagus. Ia bisa kembali ke apartemennya yang kemungkinan besar penuh dengan kecoa dan feses dan siapa tahu kotoran2 memuakkan lainnya, dan aku akan mencari pasien lain.
Namun ia mengikutiku, dengan langkah tertatih-tatih. Aku membuka pintu untuknya dan ia masuk dengan lemak pada tubuhnya bergoyang2. Ia masih memegang kantong sampahnya dengan jari belepotan saus barbekyu sambil sesekali bersendawa. Ia kemudian hanya berhenti di tengah ruangan kantorku.
“Lift ... litnya tadi macet ...” ia bergumam.
“Ya, saya tahu. Saya ikut prihatin. Saya harap anda baik-baik saja. Tapi untung saja anda membawa sesuatu untuk dimakan, bukan?” Ia mulai menangis lagi, sambil meremas kantong sampahnya, yang aku takutkan akan meledak dan menumpahkan seluruh isinya yang entah-hanya-Tuhan-yang–tahu ke atas karpetku. Ia mengangguk ketika wajahnya memerah dan air mata mengalir deras seakan keluar dari tiap pori2 wajahnya.
Aku kemudian mengambilkannya tisu dan ia mengambilnya, tetap sambil mengenggam erat tas sampahnya, seakan takut aku akan mencurinya.
“Apa anda ingin saya untuk memeganginya sebentar?” tanyaku sambil berdoa dalam hati agar ia mengatakan tidak.
Ia menggeleng. Syukurlah.
“Apa yang ada di dalam sana?” aku menunjuk ke kantong plastik besar yang dipegangnya.
Ia gusar dan mendengus, mencoba menyedot kembali semua cairan kembali ke dalam wajahnya. Dengan menggunakan satu tisu, ia menyapu seluruh wajahnya, hingga meratakan noda merah di mulutnya ke penjuru wajahnya.
“Sisa ... sisa makanan ...” ia menjawab dengan terbata-bata. Dadanya tampak naik turun dan ia mulai terisak kembali. Wajahnya kini serupa dengan air mancur. Aku mulai merasa kasihan padanya. Ia tampak sangat menderita.
“Lihat,” kataku, “terjebak di dalam lift sungguh adalah sebuah pengalaman traumatis.”
Isakannya mulai terdengar melengking.
“Jadi kenapa kita tidak tunda saja pertemuan kita sampai Anda merasa tenang.”
Ia berusaha menjawab di tengah isakannya, “An ... Anda ingin bertemu saya?”
“Ya, hanya bukan hari ini. Mengapa Anda tidak pulang dulu saja dan mencoba santai. Saya tidak berpikir Anda dalam mood yang tepat untuk membicarakan semua permasalahan Anda. Namun saya sangat ingin menolong Anda. Jadi, mari kita jadwalkan kembali pertemuan kita untuk minggu ini. Bagaimana menurut Anda?”
Aku berjalan kembali ke mejaku dan mengambil kartu nama. Mulutnya masih gemetar dan tampaknya ia sebentar lagi akan menjadi tumpukan lendir yang menjerit gila-gilaan. Namun ia justru tampak lebih tenang dan mengangguk, kemudian mengambil kartu namaku dengan jari2 yang masih mengenggam tisu2 yang lengket dan basah.
“Te ... terima kasih ...” ia berkata. Aku hampir tak bisa membaca wajahnya. Seluruh mukanya tampak merah, bengkak, dan basah sehingga ia hampir tanpa ekspresi.
“Apa Anda mau saya menemani Anda hingga ke lobi?” tanyaku, “Untuk berjaga-jaga seandainya lift macet lagi. Namun menurut saya, seharusnya lift-nya baik-baik saja sekarang. Anda tak perlu takut.”
Ia menggeleng, “Itu ... sepertinya bukan ide ... yang bagus ...”
“Oke.”
Dan dengan itu, ia berpaling dan keluar dari kantorku dengan langkah lamban dan malas. Bersamanya, tas hitam dengan isinya bergoyang-goyang mengikuti langkahnya, membawa pergi segala aroma busuk, jorok, dan tak mengenakkan dari dalamnya. Aku menghela napas dengan lega ketika ia menutup pintu dan menghilang di baliknya.
Ia tak pernah meneleponku kembali.
Seminggu kemudian, aku sedang minum2 bersama kolegaku di lantai bawah. Kami sedang santai, menikmati beberapa cangkir minuman, dan tiba2 aku teringat padanya.
“Oh, omong2 terima kasih.” kataku.
“Untuk apa?”
“Amelia.”
“Siapa?”
“Amelia. Gangguan pola makan, ingat? Minggu lalu kau mengirimnya kepadaku.”
“Oh ya, aku ingat. Yang terjebak di dalam lift. Bagaimana keadaannya?”
“Ia benar2 seperti kapal menunggu karam. Terisak terus-menerus dan hampir histeris. Aku memintanya menjadwalkan kembali pertemuan kami, namun ia tak pernah menelepon untuk membuat perjanjian.”
“Apa kau sudah berbicara dengan ibunya?”
“Tidak. Aku sama sekali tak mendapatkan informasi sedikitpun darinya. Tapi aku memberikannya kartuku.”
“Bagaimana pendapatmu mengenai dirinya?”
“Ketergantungan pada makanan. Kasus klasik.” jawabku, “Benar2 pemakan lahap. Wajahnya benar2 ...”
“Bukan, bukan ibunya. Maksudku Amelia.”
“Apa?”
“Bagaimana pendapatmu mengenai Amelia?” ulangnya.
“Aku sudah mengatakan padamu apa pendapatku.”
“Amelia, gadis kurus kering berusia 12 tahun itu, kau pikir ia adalah pemakan lahap?”
“Apa, tidak ... itu ...”
Dan tiba2 aku tersadar.
“Apa ibunya bersamanya saat itu?”
“Ya, aku mengirim mereka berdua kepadamu.”
“Dan mereka berdua terjebak di dalam lift bersama-sama?”
Ia menatapku dan mimik wajahnya langsung berubah.
Tak perlu kukatakan lagi, aku tak pernah lagi bertemu lagi dengannya. Amelia D-sesuatu. Atau ibunya, wanita penderita obesitas yang tak bernama yang kutemui di luar lift pada hari itu. Wanita yang beraroma seperti kematian, tertutup oleh yang kupikir saus merah, dan membawa tas sampah berisi sisa-sisa makanan.
THE END
Comments
Post a Comment